Jumat, 17 April 2009

Ketidaksiapan Pemilu Contreng

Oleh: Akhmad Sekhu
(Pengamat Politik)


Ada yang baru dalam pemilu 2009, yang tampak sepele hanya perubahan dari coblos ke contreng, tapi kalau kita amati tentu tidak sesederhana itu perubahannya, terbukti yang terjadi pada Pemilu Legislatif 9 April, banyak terjadi kesalahan teknis maupun non-teknis. KPU (Komisi Pemilihan Umum) berperan paling besar dalam perubahan dari coblos ke contreng itu. Apalagi, sistem Pemilu Legislatif yang dulu berdasarkan nomor urut, tapi kini berubah dengan besarnya perolehan suara. Sungguh dibutuhkan lebih banyak lagi biaya, tenaga, bahkan pikiran.

Ada sebuah partai yang mencoba mengambil peran dengan berinisiatif sendiri mengadakan sosialisasi yang katanya bertujuan memperingan tugas sosialiasi KPU, tapi dicurigai oleh Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu) yang menilai inisiatif itu sebagai kampanye terselubung. Maksud baik tidak akan disambut dengan baik, demikian tanggapan partai yang punya inisiatif, karena kemudian memang gerakannya lebih cenderung agresif untuk mencari dukungan. Panwaslu sebagai institusi pengawas harus waspada terhadap berbagai bentuk kampanye yang tidak semestinya.

Kemudian, ada yang lain lagi, kali ini himbauan dari salah seorang ketua partai besar yang meminta pendukungnya untuk mencoblos dan tidak usah mencontreng. Alasannya, konon katanya, karena sebagian besar pendukungnya adalah wong cilik yang dianggapnya tidak terbiasa dengan contreng jadi lebih baik tetap mencoblos saja. Sungguh himbauan itu sebagai sebuah langkah kemunduran kehidupan demokrasi di negeri ini. Himbauan yang tidak mendidik. Semestinya, walau klaim partainya sebagai partainya wong cilik, tapi justru dengan mencontreng itu tentu akan jadi lebih baik.

Seperti sebuah peribahasa 'sekali dayung, dua pulau terlampaui,' demikian juga sekali contreng, dua tujuan tentu akan tercapai, yaitu pertama, dengan contreng, kita bisa mengenalkan wong cilik pada pena pencontreng yang jarang digunakannya. Kedua, dengan contreng, kita bisa membudayakan wong cilik dengan budaya tulis. Meski, dalam pemilu mereka hanya sebentar mencontreng, baik Pemilu Legislatif kemarin maupun Pemilu Presiden yang akan datang, tapi kita dapat berharap semoga bisa menjadi membudaya dalam kehidupan wong cilik beradaptasi dengan budaya tulis.

Generasi televisi
Sekarang ini kita memasuki zaman yang disebut sebagai zamannya generasi televisi, generasi multimedia, generasi internet dengan booming-nya jejaring sosial facebook, yang kesemuanya dalam era globalisasi. Banyak wong cilik yang tak dapat menikmati, jangankan mengakses internet, karena memakai pena pun jarang, bahkan bisa dikatakan tidak sama sekali. Mereka, sebagian besar masyarakat kita yang dijuluki sebagai wong cilik, orang kecil atau orang-orang pinggiran, tampak gagap karena dari budaya lisan yang belum mampu diadaptasi langsung ke budaya audiovisual. Mereka tak sempat beradaptasi dengan budaya tulis, sebuah budaya peralihan antara budaya lisan dengan budaya audiovisual yang tanpa sadar telah mereka lompati.

Mereka menonton televisi, bahkan nyaris menghabiskan seluruh waktunya di depan 'kotak ajaib' itu, tapi hanya sekedar menonton, tidak mencatat dari manfaat yang bisa didapat dari 'budaya audiovisual' menonton. Berbagai acara tak bernilai; sinetron-sinetron yang monoton, kejar tayang karena produksi maraton, reality-reality show yang mendramatisir getir kehidupan lebih tampak seperti menjual penderitaan, berita-berita yang latah cenderung mengeksploitasi segala hal yang negatif sehingga banyak penonton yang meniru karena tidak menyadari tontonan itu hanyalah sebuah tontonan bukan tuntunan, betapa semua itu seperti sampah-sampah yang dimuntahkan, sederas air bah, dan mereka memakannya mentah-mentah, tanpa lebih dulu "mengunyah," karena tak ada waktu untuk menyeleksi, apalagi merenung.

Jeda tayangan yang seharusnya digunakan untuk merenung, tapi karena diisi oleh iklan-iklan yang menggiurkan jadinya mereka gagap. Bahkan mereka yang tidak mampu terpaksa hanya bisa menahan air liur karena keinginan mendapatkan produk yang diiklankan itu tak terjangkau. Dalam hal ini, Neil Postman, pakar komunikasi, mengingatkan kita untuk mewaspadai media televisi agar tak gampang terpedaya televisi dengan iklan-iklannya yang menggiurkan. Sungguh tragis karena banyak orang yang tampak seperti tidak peduli, bahkan bisa dibilang berbuat nekad sekali sehingga kemudian terjadi menghibur diri sampai mati.

Pemilu yang diselenggarakan setiap lima tahun itu, kini datang lagi dan di televisi tampak menyiarkan iklan-iklan partai politik yang banyak memberikan janji-janji. Sosialisasi perubahan pemilu tampak sekedar basa-basi. Bahkan kebanyakan iklan partai politik cenderung egois dengan memandu cara mencontreng hanya mencontreng pada partainya sendiri. Ya, mereka ibaratnya, seperti menyelam sambil minum air, memberi sosialisasi pemilu sambil cari dukungan demi keuntungan partainya sendiri.

Padahal, pemilu kali ini tidak sesederhana itu perubahannya, ya, tidak sekedar berubah dari alat mencoblos berbentuk paku ke alat mencontreng berbentuk pena, dari tradisi coblos berganti tradisi contreng, yang bisa dikatakan peralihan dari budaya lisan ke budaya tulis. Sebuah budaya yang tanpa mereka sadari telah mereka lompati karena dari budaya lisan langsung ke budaya audiovisual. Mereka adalah potret masyarakat kita yang tidak siap, bahkan banyak yang tak tahu tata cara pemilu contreng, alih-alih mereka apatis sehingga banyak yang golput. Kesalahan dalam Pemilu Legislatif yang tentu tidak akan terjadi kalau kita mengadakan sosialisasi dengan sebaik mungkin, betapa ketidaksiapan pemilu contreng menunjukkan kegagapan masyarakat kita.

(dimuat di Harian REPUBLIKA, Sabtu, 11 April 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar