Jumat, 17 April 2009

Kalahnya Caleg Kami

Oleh: Akhmad Sekhu
(Pengamat Politik)


Akhir-akhir ini kami merasakan ngeri yang berkepanjangan dan tak berkesudahan. Kengerian kami sebagai anak negeri yang sedang menghadapi masa pemilihan umum yang cenderung disikapi oleh para elite politik kita sebagai masa peralihan kekuasaan. Sejarah mencatat, dalam setiap peralihan kekuasaan akan selalu terjadinya bentrokan kepentingan.
Konon, dalam politik tak ada teman atau lawan yang abadi, tapi yang ada hanyalah kepentingan yang abadi, jadi apapun bisa saja terjadi, seperti istilahnya ada yang menikam dari belakang, sampai ada yang menggunting dalam lipatan.
Kampanye memang sudah kita lewati bersama, meski terbilang relatif aman karena tidak ada bentrokan antar pendukung partai, yang memicu kerusuhan masal. Hal itu menunjukkan kedewasaan masyarakat kita dalam kehidupan berdemokrasi, tapi masih menyisakan kekhawatirkan yang kali ini tampak sepele karena yang terjadi lebih banyak bentrokan sesama pendukung partai, yang sebenarnya justru sangat dilematis seperti menyimpan bom waktu yang tentu sewaktu-waktu bisa saja meledak kalau sampai nanti disulut api dendam orang-orang dalam sesama partai.
Meski yang terjadi adalah bentrokan kecil, yaitu bentrokan fisik sesama pendukung partai pada saat panggung hiburan goyang dangdut berlangsung. Tapi hal ini bisa menjadi isyarat bagi kita akan pertanda adanya bentrokan yang lebih besar lagi, yaitu bentrokan psikis. Kalau bentrokan fisik hanya seperti riak-riak kecil yang tentu tak berarti apa-apa, tapi kalau bentrokan psikis tentu bagaikan gelombang ombak besar yang bisa berdampak sangat besar bisa mampu mengoyahkan, bahkan mungkin bisa lebih fatal lagi hingga sampai mengkaramkan kapal negara ini.
Bentrokan psikis yang terjadi sesama pendukung partai adalah buah dari sistem pemilu yang sekarang ini berubah, dimana kalau sistem pemilu pada 2004 menggunakan nomor urut, tapi dalam sistem pemilu 2009 adalah suara terbanyak yang rentan dan bisa menimbulkan gangguan mental-emosional terhadap calon legislator (caleg) yang lebih berat. Sebuah perubahan sistem pemilu yang menelan korban mengingat jumlah caleg yang jadi tentu banyak sekali, bahkan bisa dibilang berpotensi meningkatkan kerentanan adanya pengidap gangguan jiwa berat pada masyarakat semakin banyak.
Sebuah kenyataan terbentang telah membuka mata kita, beberapa waktu yang lalu, seorang calon bupati di daerah mengalami gangguan jiwa berat karena kalah dalam pilkada. Konon, ia telah menghabiskan 3 miliar yang didapat tidak hanya dari kocek pribadi, tapi juga dari hasil utang kiri-kanan. Utangnya begitu bejibun menggunung, bisnisnya bangkrut, dan kemudian ia ditinggal pergi oleh istrinya.
Kini demi meraih kursi, caleg berbuat irasional. Tak sesuai dengan kemampuan, baik psikologi maupun materi, terpaksa mengeluarkan semua harta kekayaannya, sampai melakukan utang kiri-kanan. Bahkan ada seorang calon legislator yang sampai menghabiskan dana sekitar 10 miliar. Padahal kalau dia nanti jadi menjabat legislatif selama 5 tahun konon kalau dihitung mungkin hanya sekitar 2 miliar.
Kalau gagal raih kursi, calon legislator akan tertekan kejiwaannya, stres, dan depresi. Apalagi mereka banyak yang daya tahan psikologinya tidak kuat. Untuk itu, sejumlah rumah sakit jiwa telah menyatakan siaga satu dengan menyiapkan bangsal rawat VIP buat calon legislator yang jiwanya terguncang karena kalah dalam Pemilu. Bahkan tidak tanggung-tanggung, fasilitas yang disiapkan mirip dengan hotel berbintang.
Kalahnya caleg kami adalah belum berhasilnya caleg kami mengelola diri. Mereka tampak seperti tiba-tiba mencalonkan diri sebagai caleg tanpa proses yang alami. Pencalonan yang instan. Kemudian, istilah mengenai suara rakyat adalah suara Tuhan tampaknya sekarang mulai tidak berlaku lagi karena sebagian besar rakyat sekarang sudah jauh dari Tuhan.
Mereka beragama tapi kehidupannya tidak mencirikan sebagai orang beragama. Sebuah kenyataan yang sangat mencengangkan, tapi inilah yang terjadi dan kalahnya caleg kami memang harus diterima sebagai kesuksesan yang tertunda agar nanti tidak sampai mengalami gangguan jiwa berat jadi hal ini bisa disikapi sebagai sebuah pembelajaran untuk menata diri kembali pada kehidupan beragama yang lebih baik.
Kalau kehidupan beragama sudah baik, caleg yang kalah kembali mencalonkan diri pada pemilu lima tahun yang akan datang. Dengan menjalani kehidupan beragama yang lebih baik berarti berupaya mengembalikan lagi makna suara rakyat sebagai suara Tuhan. Kalau sudah begitu, maka akan baik juga kehidupan bermasyarakat dan bernegara sehingga citra negara Indonesia akan lebih baik di mata dunia internasional.

Harian Umum PELITA, Edisi Rabu , 15 April 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar